Saturday, 24 December 2011

ASKEP pansinusitis

PANSINUSITIS
SINUSITIS MAKSILA KRONIS

1. Defenisi
Sinusitis maksila kronis adalah peradangan kronis pada sebagian atau seluruh mukosa sinus maksila. Adams (1978) menyebutkan batas waktu sinusitis kronis beberapa bulan sampai beberapa tahun Menurut Cauwenberge (1983) disebut sinusitis kronis,apabila lebih dari tiga bulan.
Sebenarnya klasifikasi yang tepat berdasarkan pada pemeriksaan histopatologik, akan tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dikerjakan. Gambaran patologik sinusitis maksila kronis cukup kompleks dan ireversibel. Mukosa umumya menebal, membentuk lipatan-lipatan atau pseudopolip. Epitel permukaan mengalami deskuamasi, regenerasi, metaplasia , atau epitel normal dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histologi yang sama. Pembentukan mikroabses dalam jaringan granulasi dapat terjadi bersama–sama dengan pembentukan jaringan parut. Secara menyeluruh terdapat infiltrat sel bundar dan polimorfonuklear dalam lapisan submukosa.

2. Etiologi
Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi infeksi disebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang udem yang dapat menyumbat muara sinus dan mengganggu drenase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis kronis. Pada keadaan kronis terdapat polip nasi dan polip antrokoanal yang timbul pada rinitis alergi, memenuhi rongga hidung dan menyumbat ostium sinus. Selain faktor alergi, faktor predisposisi lain dapat juga berupa lingkungan. Faktor cuaca seperti udara dingin menyebabkan aktivitas silia mukosa hidung dan sinus berkurang, sedangkan udara yang kering dapat menyebabkan terjadinya perubahan mukosa, sehingga timbul sinusitis. Faktor lainnya adalah obstruksi hidung yang dapat disebabkan kelainan anatomis, misalnya deviasi septum, hipertropi konka, bula etmoid dan infeksi serta tumor. Biasanya tumor ganas hidung dan nasofaring sering disert ai dengan penyumbatan muara sinus.
Etiologi infeksi sinus paranasal pada umumnya sama seperti etiologi rinitis, yaitu virus dan bakteri. Virus penyebab sinusitis antara lain rinovirus, para influenza tipe 1 dan 2 serta respiratory syncitial virus. Kebanyakan infeksi sinus disebabkan oleh virus, tetapi kemudian akan diikuti oleh infeksi bakteri sekunder. Karena pada infeksi virus dapat terjadi edema dan hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi suatu  lingkungan ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari satu bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama dengan penyebab otitis media. Yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun ialah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, bakteri anaerob, Branhamella kataralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Selama suatu fase akut, sinusitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena sinusitis kronis biasanya berkaitan dengan drenase yang tidak adekuat maupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, dimana proporsi terbesar bakteri anaerob. Akibatnya, biakan rutin tidak memadai dan diperlukan pengambilan sampel secara hati-hati untuk bakteri anaerob. Bakteri aerob yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun, antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, Haebomophilis influenza, Neisseria flavus, Staphylococcus epidermis, Streptcoccus pneumoniae dan Escherichia coli, Bakteri anaerob termasuk Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bakteriodaes dan Vellonella. Infeksi campuran antara organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi.
Sumber infeksi yang mungkin dapat menyebabkan peradangan pada sinus paranasal, antara lain infeksi hidung yang umumnya menyebar kearah sinus melalui muaranya. Infeksi hidung bisa disebabkan oleh mikroorganisme patogen atau dapat pula oleh benda asing seperti yang sering terjadi pada anak-anak. Infeksi gigi, paling sering sebagai penyebab infeksi sinus maksila terutama infeksi dari rahang atas gigi molar 1,2,3 serta premolar 1 dan 2. Penyebaran infeksi dari gigi ke antrum melalui dua cara, yaitu melalui infeksi gigi kronis, yang mengakibatkan terbentuknya daerah granulasi pada mukosa sinus yang menutupi daerah alveolaris, sehingga fungsi mukosa didaerah tersebut berubah dan aktifitas silia terganggu. Dapat juga perkontinuitatum, bakteri langsung menyebar dari granuloma kapital atau kantong periodontal ke sinus maksila. Trauma muka dapat menimbulkan peradangan dengan beberapa cara yaitu melaui fraktur terbuka, menyebabkan hubungan sinus dengan dunia luar maupun rongga hidung kerusakan mukosa yang terjadi serta adanya bekuan darah memudahkan timbulnya infeksi. Dapat pula melalui kontusio sinus, dimana akibat pukulan yang keras pada pipi akan mengakibatkan kontusio mukosa sinus yang kadang-kadang disertai ekstravasasi darah ke dalam antum. Keadaan ini memudahkan terjadi infeksi yang berasal dari hidung. Suatu benda asing di dalam sinus maupun hidung dapat meyebabkan sinusitis, misalnya pecahan tulang, gigi peluru dan tampon hidung. Barotrauma dapat juga sebagai penyebab dan sering terjadi pada penderita sumbatan hidung misalnya, deviasi septum, rinitis alergi selama dalam penerbangan. Infeksi dari air sewaktu berenang dan menyelam dapat merupakan faktor penyebab terjadinya sinusitis, sedangkan penyakit umum seperti influenza, morbili dan pertusis dapat menyebabkan sinusitis pula. Peneumonia yang disebabkan oleh Pneumococcus sering disertai oleh sinusitis dengan penyebab oleh kuman yang sama. Hubungan sinusitis dengan penyakit atau kelainan paru, dikenal sebagai sindrom sinobronkial dan kelainan paru yang bersamaan dengan sinusitis ialah bronchitis kronis, asma bronkial dan bronkiektasis.

3. Gejala klinis.
Gejala klinis sinusitis maksila kronis sangat bervariasi , dari ringan sampai berat, dari :
1) Gejala hidung,
a)      Obstruksi hidung, keluhan ini se ring dirasakan oleh penderita  sebelum terjadi sinusitis, karena adanya rinitis alergi dan polip yang timbul sebelumnya,
b)      Sekret hidung. Pada sinusitis alergi maka cairan yang keluar bersifat serous kadang-kadang mukoid yang berlebihan. Bila sekret berubah menjadi mukupurulen, biasanya sudah terjadi proses paradangan dan bila sekret bercampur darah, terutama unilateral dicurigai adanya keganasan,
c)      Post nasap drip (ingus belakang hidung), merupakan gejala yang paling sering ditemukan dan dirasakan sebagai perasaan kering dari tenggorok, rasa panas di belakang hidung serta rasa tidak nyaman di mulut,
d)     Epistaksis, disebabkan karena peradangan dan vasodilatasi pembuluh darah pada mukosa hidung,
e)      gangguan penghidu, ada keluhan kakosmia , penderita merasakan bau busuk, bahkan bau dapat tercium oleh orang lain, biasanya karena kelainan anatomi hidung. Pada sinusitis kronis dengan dasar rinitis alergi biasanya keluhannya hiposmia sampai anosmia dan kadang-kadang parosmia,
f)       Ekskoriasi sekitar lubang hidung, seringkali ditemukan pada anak-anak dan dianggap sebagai tanda sinusitis kronis,
g)      Allergic salute, yaitu gerakan punggung tangan menggosok hidung karena gatal, keadaan ini sering tampak pada anak-anak dan menimbulkan garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease (linea nasalis).
2) Gejala faring.
Rasa kering tenggorok yang disebabkan oleh faringitis dan tonsillitis.
3) Gejala telinga.
Sinusitis kronis dapat menyebabkan nasofaringitis, sehingga terjadi edema mukosa dan obstruksi tuba Eustachius dan kadang-kadang dapat terjadi otitis media serosa kronis karena alergi sebagi gangguan dasarnya.
4) Nyeri kepala.
Mempunyai sifat khas yaitu nyeri pada pagi hari dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Hal ini diduga karena penimbunan sekret dalam rongga hidung dan sinus serta adanya stasi vena pada malam hari, sedangkan pada siang hari karena posis tegak, drenase baik.
5) Gejala mata.
Berupa keluhan mata gatal dan lakrimasi yang disebabkan karena obstruksi dan infeksi duktus lakrimalis, sehingga sering terjadi konjungtivitis. Pada anak terdapat bayangan gelap di bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung, yang disebut allergic shiners (black eyes of allergy). Dapat timbul Dennise line, yaitu adanya lipatan (alur) di bawah palpebra inferior oleh karena kontraksi otot polos dibawah palpebra inferior, gambaran ini tampak sejak bayi dan berhubungan dengan rinitas alergi dan dermatitis atopi.
6) Gejala Saluran nafas.
Batuk dan kadang-kadang terdapat komplikasi di paru, berupa bronchitis atau bronkiektasis atau asma bronkial, sehingga terjadi penyakit sinobronkitis.
7) Gejala Saluran Cerna.
Mukopus yang tertelan dapat menimbulkan gangguan pencernaan , nausea dan gastritis ringan.
8) Lidah geografik ( geographic tongue). Disebabkan adanya glositis kronis.
9) Allergic or adenoid faces/sad looking faces.
Bernafas melalui mulut, mulut terbuka,  allergic or shiners dan kemungkinan disertai maloklusi gigi. Hal ini disebabkan alergi dan pembesaran tonsil atau adenoid.
10) Gejala umum, kadang-kadang disertai rasa lesu dan demam yang tidak begitu  tinggi.

4. Diagnosis.
Dalam menegakkan diagnosis sinusitis maksila kronis, pemeriksan dimulai dari   anamnesis, gejala klinis, diikuti dengan pemeriksaan klinis rutin sampai pemeriksaan khusus.
1) Anamnesis.
Mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. Yang perlu ditanyakan adanya keluhan alergi hidung, dengan gejala yang paling banyak adalah bersin-bersin lebih dari 5 kali setiap serangan atau gatal hidung (89,80 %),rinore encer lebih dari satu jam (87,07%) dan hidung tersumbat (76,19%). Biasanya gejala timbul setelah ada riwayat kontak dengan alergen tertentu. Perkiraan alergen penyebab, dari tes kulit alergen-alergen yang memberikan hasil positif bermakna berturut-turut terbanyak adalah tungau debu rumah (91,19%).debu rumah (73,47%), serpihan epitel atau bulu binatang (63,95%).
2) Gejala obyektif.
Pada pemeriksaan klinis kronis tidak seberat pemeriksaan sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan muka. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, mukosa hidung penderita rinitis alergi biasanya basah , pucat atau livid serta konka tampak membengkak. Jika terdadap infeksi penyerta, sekret dapat bervariasi dari encer dan mukoid hingga kental dan parulen, sehingga mukosa menjadi merah dan meradang serta ditemukan sekret kental (pus) pada meatus medius atau meatus superior. Kadang-kadang tampak polip pada regio etmoid yang meluas ke meatus superior dan media. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior, tampak sekret purulen di nasofaring atau permukaaan atas palatum, biasanya berasal dari sinus parasanal bagian anterior. Gejala khas sinusitis bagian interior ialah adanya pus yang mengalir melalui ujung belakang konka inferior dari meatus medius. Pada pemeriksaan faring, tampak pus mengalir melalui dinding lateral faring, kadang-kadang tampak pembengkakan jaringan
mukosa di lateral faring pada sisi yang sama.

5. Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang sinusitis maksila terdiri dari :
1) Transiluminasi.
Dapat dipakai untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal. Pada sinus maksila tampak gambaran seminular infraorbital, sinar tentang pada pipi dan pupil bercahaya. Pada sinus frontal yang normal menunjukkan sinar terang pada sinus frontal dan tampak tegas batas antara rongga dan tulang. Sinus tampak lebih gelap jika di dalamnya terdapat cairan pus, mukopus, penebalan mukosa dan massa tumor. Jika sinus tampak lebih kecil dan gelap maka kemungkinan oleh karena trauma, gangguan pertumbuhan, penebalan jaringan lunak atau penebalan tulang. Transiluminasi tidak mempunyai arti penting untuk menegakkan diagnosis dan kebenaran diagnosisnya dibandingkan dengan hasil fungsi sinus hanya 50 % - 68 %. Selain itu jika dibandingkan dengan pemeriksaan foto Rontgen hasilnya berbeda 15 %.
2) Pemeriksaan radiologik.
Umunya ada tiga posis yang secara rutin dilakukan . yaitu posisi oksipitomental (Watres), oksitofrontal (Caldwell) dan posisi lateral. Pemeriksaan radiologi khusus dilakukan jika pemeriksaan radiologi rutin meragukan atau tidak jelas. Pemeriksaan ini terdiri atas : a) Pemeriksaan radiologi dengan bahan kontras. Dengan pemeriksaan cara ini dapat diketahui keadaan anatomi dan fungsi sinus maksila. b) Ultrasonografi (USG). Cukup baik untuk pemeriksaan sinus karena mudah, murah dan tanpa radiasi. Tetapi beberapa ahli berpendapat nilai diagnostiknya rendah. c) Computed tomography scanning (CT scan) merupakan pilihan utama diagnostik penyakit-penyakit inflamasi atau neoplasma sinus paranasal dan merupakan bagian penting sebagai pemeriksaan penunjang.  CT scan yang digabung dengan pemeriksaan endoskopi hidung, akan memberikan hasil 90 % lebih akurat dibandingkan dengan pemeriksaan  sendirisendiri. d)Magnetic resonance imaging (MRI). Memberikan gambaran yang lebih baik untuk membedakan karakteristik dari suatu lesi jaringan.
3) Fungsi sinus maksila selain untuk membantu diagnosis dapat juga untuk terapi. Trokar yang dimasukkan ke dalam antrum sinus maksila dapat melalui ostium sinus di meatus medius, fosa kanina, dan meatus inferior. Pada sinusitis dengan penebalan mukosa, biasanya cairan tidak dapat keluar karena ostium menjadi sempit atau tersumbat total.
4) Pemeriksaan sinoskopi atau antroskopi sinus maksila.
Pertama kali dikemukan oleh Hirschmann pada tahun 1901. Hasil sinoskopi lebih baik dibandingkan dengan hasil radiologik, karena dapat mengetahui jenis dan perubahan patologik, serta keadaan  ostium sinus maksila.
6. Pengobatan
Perubahan pada mukosa sinus dapat bersifat reversibel dan ireversibel sehingga,  pengobatan sinusitis maksila, terdiri atas :
1) Pengobatan konservatif.
Secara klinis untuk mengetahui keadaan mukosa yang reversibel sangat sulit, jika pengobatan secara konservatif tidak berhasil. Pengobatan ini meliputi obat antialergi dan dekongestan, obat mukolitik untuk mengencerkan sekret ;obat analgetik, untuk mengurangi rasa nyeri, obat antibiotik, sebaiknya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan mkirobilogik dan kultur resistensi kuman. Biasanya diberikan antibiotik yang mempunyai spektrum luas selama 10-14 hari. Termasuk pula pengobatan diatermi, dengan sinar gelombang pendek (ultra short wave diathermi). Dengan pengobatan ini maka temperatur sinus akan naik antara 1,7 sampai 2,2 C, sehingga akan memperbaiki vaskularisasi sinus maksila. Diatermi dapat diberikan selama 10 hari dan tidak boleh digunakan dalam keadaan akut. Memperbaiki lingkungan yang jelek sekitar penderita, lingkungan udara yang bersih, terutama pada anak-anak dapat membantu mempercepat kesembuhan. Pungsi dan irigasi sinus maksila termasuk pengobatan konservatif, diperlukan untuk mengeluarkan sekret dari rongga sinus maksila yang dapat dilakukan melalui ostium sinus maksila di meatus medius, meatus inferior dan fosa kanina. Dilakukan maksimal enam kali setiap 2 – 3 hari sekali. Jika terdapat nanah (pus), berarti pengobatan konservatif tidak berhasil dan dipertimbangkan pengobatan secara operatif. Kontraindikasi pungsi sinus maksila ialah tidak boleh dilakukan pada saat ada infeksi akut karena dapat mengakibatkan oesteomielitis dan trauma pada maksila.
Antrostomi intranasal, yaitu tindakan membuat lubang pada meatus inferior yang menghubungkan rongga hidung dan sinus maksila, untuk drainase sekret dan ventilasi sinus maksila. Biasanya dilakukan pada penderita yang memerlukan irigasi berulang kali dan tidak dapat dilakukan pungsi sinus dengan anestesi lokal. Antrostomi yang cukup baik ialah yang diameternya cukup lebar, pemanen dan letaknya serendah mungkin pada dasar hidung. Bersama antrostomi dapat dilakukan operasi lain yang bertujuan untuk reseksi septum dan konkotomi.
2) Pengobatan operatif radikal.
Dengan operasi Calddwell-Luc bila kerusakan mukosa sudah ireversibel dan gagal dengan pengobatan konservatif. Operasi ini dilakukan dengan membuat sayatan sublabial kurang lebih dari 2 cm diatas sulkus ginggivobukalis dari insisivus 2 samapi molar 1. Sayatan dilanjutkan sampai periosteum, kemudian periosteum dilepaskan dan mukosa pipi tarik ke atas. Selanjutnya dibuat lubang pada fosa kanina dan melalui lubang tersebut mukosa yang inversibel dibersihkan.
3) Bedah sinus endoskopik fungsional.
Tindakan ini ditujukan untuk membersihkan kelainan di kompleks ostiomeatal dengan mempergunakan endoskop (teleskop). Hal ini dilakukan pada sinusitis maksila kronis yang disebabkan oleh penyebaran infeksi dari fokus infeksi di sinus etmoid anterior, terutama dari infundibulum etmoid dan resesus frontal. Ventilasi dan drenase sinus maksila akan terbentuk kembali melalui jalan alamiah, sehingga setelah beberapa waktu sinus akan kembali normal, sehingga pembedahan radikal tidak diperlukan lagi.

7. Komplikasi
Sejak ditemukan antibiotik, komplikasi sinusitis maksila telah menurun secara drastis. Komplikasi sinusitis maksila kronis yang dapat terjadi ialah 1) Oesteomielitis dan abses subperiostal.
Oesteomielitis maksila jarang terjadi , tersering adalah osteomielitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak. Oesteomielitis sinus maksila dapat menyebabkan timbulnya fistula oroantal yaitu fistula yang menggabungkan rongga mulut dan sinus maksila. Penyebab  terjadinya fistula ini selain karena komplikasi sinusitis maksila ke dalam juga karena tindakan ekstraksi gigi molar atas, kista gigi, tumor palatum dan sinus maksila serta trauma pada operasi gigi atau sinus maksila. gejala klinis berupa keluarnya cairan yang berbau busuk dari sinus maksila ke dalam mulut. Pada pemeriksaan , bila lubangnya besar akan terlihat lubang yang menghubungkan rongga mulut dan sinus maksila tetapi bila lubangnya kecil dapat diperiksa dengan memasukkan udara yang melewati fistula. Fistula yang baru dan kecil dapat menutup dengan sendirinya. Bila fistula cukup besar dan kronis perlu tindakan operasi plastik selain pengobatan sinusitisnya.
2) Kelainan orbita.
Paling sering berasal dari sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. penyebaran infeksinya melalui tromboflebilitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat ditimbulkan ialah edema palpebra selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan trombosis sinus kavernosus. Edema palpebra, biasanya dari sinusitis etmoid dan  ditemukan pada anak-anak. Selulitis orbita, edemanya bersifat difus, belum terbentuk nanah (pus) dan isi orbita telah diinvasi bakteri. Pada abses subperiostal, pus telah terbentuk di antara periorbita dan dinding tulang orbita, serta menyebabkan proptosis dan kemosis. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tampak gejala neuritis optikus, kebutaan dan bercampur unilateral, keterbatasan gerak otot ekstraokuler mata yang terserang. Proptosis makin bertambah dengan tanda khas adanya kemosis konjungtiva. Trombosis sinus kavernosus, komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus, sehingga terbentuk suatu tromboflebitis septik. Tampak gejala – gejala oftalmoplegia, komosis, konjungtiva, gangguan penglihatan yang berat, kelemahan dan tanda-tanda meningitis karena letak sinus berdekatan dengan saraf cranial II,III,IV,VI dan otak. Penderita edema palpebra dapat berobat jalan dengan pemberian antibiotik serta tetes hidung. Penderita tahap selulitis orbita dan komplikasi yang lebih berat harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik intravena dosis tinggi serta dilakukan tindakan   membebaskan pus dari rongga abses. Prognosis pada komplikasi ini, angka kematian sebesar 60-80%. Gejala sisa trombosis kavernosus seringkali berupa atrofi optikus.
3) Mukokel suatu kista yang mengandung mukus yang timbul di dalam sinus Kista ini paling sering pada sinus maksila dan tersering berupa kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Mukokel yang terinfeksi dan berisi pus disebut piokel. Patogenesisnya dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu obstruksi dan peradangan. Gambaran klinis sesuai dengan sinusitis maksila kronis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan radiologik, sinoskopi dan ditemukan pada operasi Caldwell-Luc. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan histoptologik. Pengobatan dengan eksplorasi sinus untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi, sehingga drenase sekret dan ventilasi sinus maksila menjadi baik.
4) Kelainan intrakranial :
Meningitis, abses ekstradural, abses subdural, abses otak dan tromboss sinus  cavernosus.
5) Kelainan paru :
Bronkitis kronis, bronkiektasis dan asma bronchial. Adanya kelainan sinus paranasal yang disertai dengan kelainan paru disebut sindrom sinobronkitis.

































DAFTAR PUSTAKA






No comments:

Post a Comment