Saturday, 28 January 2012

BATU PADA SALURAN KEMIH

PENDAHULUAN

Di Indonesia penyakit batu saluran kemih masih menempati porsi terbesar dari jumlah pasien di klinik urologi. Insidensi dan prevalensi yang pasti dari penyakit ini di Indonesia belum dapat ditetapkan secara pasti.
Dari data dalam negeri yang pernah dipublikasi didapatkan peningkatan jumlah penderita batu ginjal yang mendapat tindakan di RSUPN-Cipto Mangunkusumo dari tahun ke tahun mulai 182 pasien pada tahun 1997 menjadi 847 pasien pada tahun 2002, peningkatan ini sebagian besar disebabkan mulai tersedianya alat pemecah batu ginjal non-invasif ESWL (Extracorporeal shock wave lithotripsy) yang secara total mencakup 86% dari seluruh tindakan (ESWL, PCNL, dan operasi terbuka).(1)
Dari data di luar negeri didapatkan bahwa resiko pembentukan batu sepanjang hidup (life time risk) dilaporkan berkisar 5-10% (EAU Guidelines). Laki-laki lebih sering dibandingkan wanita (kira-kira 3:1) dengan puncak insidensi antara dekade keempat dan kelima, hal ini kurang lebih sesuai dengan yang ditemukan di RSUPN-CM.(1)
Kekambuhan pembentukan batu merupakan masalah yang sering muncul pada semua jenis batu dan oleh karena itu menjadi bagian penting perawatan medis pada pasien dengan batu saluran kemih.
Dengan perkembangan teknologi kedokteran terdapat banyak pilihan tindakan yang tersedia untuk pasien, namun pilihan ini dapat juga terbatas karena adanya variabilitas dalam ketersediaan sarana di masing-masing rumah sakit maupun daerah. Oleh karena itu sudah dianggap semestinya bahwa terdapat suatu Clinical Practice Guideline/Pedoman Penatalaksanaan Klinik (PPK) mengenai penatalaksanaan penyakit batu saluran kemih, yang dapat menjadi acuan yang praktis bagi sejawat spesialis urologi yang berpraktek di Indonesia. Untuk itu Ikatan Ahli Urologi Indonesia membentuk sebuah panel khusus yang menyusun PPK ini.

Tujuan disusunnya PPK ini adalah agar menjadi acuan bagi praktik urologi di Indonesia yang diharapkan membawa praktik urologi di Indonesia menjadi praktik urologi yang sedapat mungkin berlandaskan bukti yang sahih (Evidence Based Medicine (EBM)).

Metodologi

PPK batu saluran kemih (PPK-BSK) ini, selanjutnya disebut ‘guidelines’ disusun oleh suatu tim panelis yang dibentuk oleh PP-IAUI dan melaksanakan beberapa kali pertemuan yang dimulai sejak tgl. 26 November 2005. Penyusunan ‘guidelines’ ini berdasarkan beberapa Guidelines yang ada di tingkat internasional (EAU dan AUA) ditambah dengan data yang ada di tingkat Nasional (terutama yang sudah dipublikasi di majalah ilmiah kedokteran nasional yang sudah terakreditasi oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI) bila dianggap memungkinkan. Umumnya tim penyusun guidelines di tingkat internasional sudah melakukan penelusuran literatur yang ekstensif dan telah menyaripatikannya dalam bentuk rekomendasi-rekomendasi. Oleh karena itu tugas tim panelis ‘guidelines’ adalah melakukan penilaian terhadap guidelines yang sudah ada dan menilai kecocokannya dengan kondisi di tanah air dengan mempertimbangkan ketersediaan dan distribusi alat, prasarana, sarana & kemampuan spesialis urologi dalam melakukan modalitas terapi yang ada.
Hasil rumusan “guidelines’ ini dicapai melalui konsensus dan diformulasikan dalam berbagai tingkatan sesuai urutan rekomendasi.


Persetujuan Tindakan Kedokteran/Medik (informed consent)

            Pada setiap melakukan tindakan medik pasien harus diberitahu mengenai semua modalitas terapi yang ada meskipun tidak tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan yang bersangkutan. Harus dijelaskan mengenai diagnosis, sifat dan tujuan tindakan yang ditawarkan, keuntungan dan risiko setiap tindakan (keluaran [treatment outcomes] yang diharapkan [sebaiknya dengan persentase keberhasilan], dan komplikasi yang mungkin terjadi baik jangka panjang maupun jangka pendek), alternatif lainnya (observasi, medikamentosa, non-invasif, minimal invasif dan operasi terbuka) beserta keuntungan dan risiko masing-masing. Selain itu juga harus dijelaskan keuntungan dan risiko bila pasien tidak menerima tindakan medik. Sebaliknya pasien juga perlu mendapat kesempatan untuk bertanya agar lebih mengerti lagi mengenai sifat dari tindakan medik yang ditawarkan sehingga dapat memutuskan untuk menerima atau menolak tindakan medik yang ditawarkan.(2;3)

Kepustakaan
(1)   Rahardjo D, Hamid R. Perkembangan penatalaksanaan batu ginjal di RSCM tahun 1997-2002. J I Bedah Indones 2004; 32(2):58-63.
(2)   American Medical Association. Informed consent. http://www.ama-assn.org/ama/pub/category/4608.html . 7-3-2005.
Ref Type: Electronic Citation
(3)   Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116. 6-10-2004.
Ref Type: Bill/Resolution


DIAGNOSIS


ANAMNESIS
Pasien dengan BSK mempunyai keluhan yang bervariasi mulai dari tanpa keluhan, sakit pinggang ringan sampai dengan kolik, disuria, hematuria, retensio urin, anuria. Keluhan ini dapat disertai dengan penyulit berupa demam, tanda-tanda gagal ginjal.


PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK dapat bervariasi mulai tanpa kelainan fisik sampai tanda-tanda sakit berat tergantung pada letak batu dan penyulit yang ditimbulkan.
Pemeriksaan fisik umum : hipertensi, febris, anemia, syok
Pemeriksan fisik khusus urologi
  • Sudut kosto vertebra : nyeri tekan , nyeri ketok, pembesaran ginjal
  • Supra simfisis : nyeri tekan, teraba batu, buli-buli penuh
  • Genitalia eksterna : teraba batu di uretra
  • Colok dubur : teraba batu pada buli-buli (palpasi bimanual)


PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan urin rutin untuk melihat eritrosituri, lekosituria, bakteriuria (nitrit), pH urin dan kultur urin. Pemeriksaan darah berupa hemoglobin, lekosit, ureum dan kreatinin.


PENCITRAAN
Diagnosis klinis sebaiknya didukung oleh prosedur pencitraan yang tepat.
Pemeriksaan rutin meliputi  foto polos perut (KUB) dengan pemeriksaan ultrasonografi atau intravenous pyelography (IVP) atau spiral CT.1,2,3 Pemeriksaan IVP tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien berikut :
  • Dengan alergi kontras media
  • Dengan level kreatinin serum  > 200μmol/L (>2mg/dl)
  • Dalam pengobatan metformin
  • Dengan myelomatosis

Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan meliputi :
  • Retrograde atau antegrade pyelography
  • Scintigraphy
                                                                                                       
Daftar Pustaka :
1.     Mendelson RM, Arnold-Reed DE, Kuan M, Wedderburn AW, Anderson JE, Sweetman G, et al. Renal colic : a prospective evaluation of non-enhanced spiral CT versus intravenous pyelography. Australasian Radiology 2003; 47: 22 - 8.
2.    Homer JA, Davies-Paine DL, Peddinti BS. Randomized prospecive comparison of non-contrast enhanced helical computed tomography and intravenous urography in the diagnosis of acute ureteric colic. Australasian Radiology 2001; 45: 285 - 90.
3.    Grenwell TJ, Woodhams S, Denton ERM, MacKenzie A, Rankin SC, Popert R. One year's clinical experience with unenhanced spiral computed tomography for the assessment of acute loin pain suggestive of renal colic. BJU Int 2000; 85 (6): 632 - 6.





BATU URETER

Latar Belakang
            Batu ureter pada umumnya adalah batu yang terbentuk di dalam sistim kalik ginjal, yang turun ke ureter. Terdapat tiga penyempitan sepanjang ureter yang biasanya menjadi tempat berhentinya batu yang turun dari kalik yaitu ureteropelvic junction (UPJ), persilangan ureter dengan vasa iliaka, dan muara ureter di dinding buli.
            Komposisi batu ureter sama dengan komposisi batu saluran kencing pada umumnya yaitu sebagian besar terdiri dari garam kalsium, seperti kalsium oksalat monohidrat dan kalsium oksalat dihidrat. Sedang sebagian kecil terdiri dari batu asam urat, batu struvit dan batu sistin.
            Beberapa faktor yang mempengaruhi penanganan batu ureter antara lain letak batu, ukuran batu, adanya komplikasi ( obstruksi, infeksi, gangguan fungsi ginjal ) dan komposisi batu. Hal ini yang akan menentukan macam penanganan yang kita putuskan.  Misalnya cukup di lakukan observasi, menunggu batu keluar spontan, atau melakukan intervensi aktif.
            Dahulu sebelum alat-alat minimal invasif berkembang, untuk keperluan penanganan batu ureter, ureter dibagi menjadi 3 bagian. Yaitu ureter proksimal (dari UPJ sampai bagian atas sakrum), ureter tengah (bagian atas sakrum sampai pelvic brim) dan ureter distal (dari pelvic brim  sampai muara ureter). Hal ini berkaitan dengan teknik pembedahan (insisi). Namun dengan berkembangnya terapi minimal invasif untuk batu ureter, maka saat ini untuk keperluan alternatif terapi, ureter dibagi 2 saja yaitu proksimal (di atas pelvic brim) dan distal (di bawah pelvic brim).
            Batu ureter dengan ukuran < 4 mm, biasanya cukup kecil untuk bisa keluar spontan. Karena itu ukuran batu juga menentukan alternatif terapi yang akan kita pilih. Komposisi batu menentukan pilihan terapi karena batu dengan komposisi tertentu mempunyai derajat kekerasaan tertentu pula, misalnya batu kalsium oksolat monohidrat dan sistin adalah batu yang keras, sedang batu  kalsium oksolat dihidrat biasanya kurang keras dan mudah pecah.
Adanya komplikasi obstruksi dan atau infeksi juga menjadi pertimbangan dalam penentuan alternatif terapi batu ureter. Tidak saja mengenai waktu kapan kita melakukan tindakan aktif, tapi juga menjadi pertimbangan dalam memilih jenis tindakan yang akan kita lakukan.
Secara garis besar terdapat beberapa alternatif penanganan batu ureter yaitu observasi, SWL, URS, PNL, dan bedah terbuka. Ada juga alternatif lain yang jarang dilakukan yaitu laparoskopi dan ekstraksi batu ureter tanpa tuntunan (“blind basketing”).

Terapi konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter < 5 mm. Seperti disebutkan sebelumnya, batu ureter < 5 mm bisa keluar spontan. Karena itu dimungkinkan untuk pilihan terapi konservatif berupa :
  1. Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari
  2. α - blocker
  3. NSAID
Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu syarat lain untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien, ada tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK menyebabkan observasi bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan adanya obstruksi, apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal tunggal, ginjal trasplan dan penurunan fungsi ginjal ) tidak ada toleransi terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus segera dilakukan intervensi.

Shock Wave Lithotripsy ( SWL )
            SWL banyak digunakan dalam penanganan batu saluran kencing. Prinsip dari SWL adalah memecah batu saluran kencing dengan menggunakan gelombang kejut yang dihasilkan oleh mesin dari luar tubuh. Gelombang kejut yang dihasilkan oleh mesin di luar tubuh dapat difokuskan ke arah batu dengan berbagai cara. Sesampainya di batu, gelombang kejut tadi akan melepas energinya. Diperlukan beberapa ribu kali gelombang kejut untuk memecah batu hingga menjadi pecahan-pecahan kecil, agar supaya bisa keluar bersama kencing tanpa menimbulkan sakit.
            Berbagai tipe mesin SWL bisa didapatkan saat ini. Walau prinsip kerjanya semua sama, terdapat perbedaan yang nyata antara mesin generasi lama dan baru, dalam terapi batu ureter. Pada generasi baru titik fokusnya lebih sempit dan sudah dilengkapi dengan flouroskopi, sehingga memudahkan dalam pengaturan target/posisi tembak untuk batu ureter. Hal ini yang tidak terdapat pada mesin generasi lama, sehingga pemanfaatannya untuk terapi batu ureter sangat terbatas. Meskipun demikian mesin generasi baru ini juga punya kelemahan yaitu kekuatan tembaknya tidak sekuat yang lama, sehingga untuk batu yang keras perlu beberapa kali tindakan.
            Komplikasi SWL untuk terapi batu ureter hampir tidak ada. Tetapi SWL mempunyai beberapa keterbatasan, antara lain bila batunya keras ( misalnya kalsium oksalat monohidrat ) sulit pecah dan perlu beberapa kali tindakan. Juga pada orang gemuk mungkin akan kesulitan. Penggunaan SWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita dan anak-anak juga harus dipertimbangkan dengan serius. Sebab ada kemungkinan terjadi kerusakan pada ovarium. Meskipun belum ada data yang valid, untuk wanita di bawah 40 tahun sebaiknya diinformasikan sejelas-jelasnya.

Ureteroskopi
            Pengembangan ureteroskopi sejak tahun 1980 an telah mengubah secara dramatis terapi batu ureter. Kombinasi ureteroskopi dengan pemecah batu ultrasound, EHL, laser dan pneumatik telah sukses dalam memecah batu ureter. Juga batu ureter dapat diekstraksi langsung dengan tuntunan URS. Dikembangkannya semirigid URS dan fleksibel URS telah menambah cakupan penggunaan URS untuk terapi batu ureter. Keterbatasan URS adalah tidak bisa untuk ekstraksi langsung batu ureter yang besar, sehingga perlu alat pemecah batu seperti yang disebutkan di atas. Pilihan untuk menggunakan jenis pemecah batu tertentu, tergantung pada pengalaman masing-masing operator dan ketersediaan alat tersebut.

PNL
            PNL yang berkembang sejak dekade 1980 an secara teoritis dapat digunakan sebagai terapi semua batu ureter. Tapi dalam prakteknya sebagian besar telah diambil alih oleh URS dan SWL. Meskipun demikian untuk batu ureter proksimal yang besar dan melekat masih ada tempat untuk PNL.
            Prinsip dari PNL adalah membuat akses ke kalik atau pielum secara perkutan. Kemudian melalui akses tersebut kita masukkan nefroskop rigid atau fleksibel, atau ureteroskop, untuk selanjutnya batu ureter diambil secara utuh atau dipecah dulu. Keuntungan dari PNL, bila batu kelihatan, hampir pasti dapat diambil atau dihancurkan; fragmen dapat diambil semua karena ureter bisa dilihat dengan jelas. Prosesnya berlangsung cepat dan dengan segera dapat diketahui berhasil atau tidak. Kelemahannya adalah PNL perlu keterampilan khusus bagi ahli urologi. Sebagian besar pusat pendidikan lebih banyak menekankan pada URS dan SWL dibanding PNL.

Bedah Terbuka
            Beberapa variasi operasi terbuka untuk batu ureter mungkin masih dilakukan. Tergantung pada anatomi dan posisi batu, ureterolitotomi bisa dilakukan lewat insisi pada flank, dorsal atau anterior. Meskipun demikian dewasa ini operasi terbuka pada batu ureter kurang lebih tinggal 1 -2 persen saja, terutama pada penderita-penderita dengan kelainan anatomi atau ukuran batu ureter yang besar.

Pemasangan Stent
            Meskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent ureter terkadang memegang peranan penting sebagai tindakan tambahan dalam penanganan batu ureter. Misalnya pada penderita sepsis yang disertai tanda-tanda obstruksi, pemakaian stent sangat perlu. Juga pada batu ureter yang melekat (impacted).

ANALISA KELUARAN
            Berbagai penelitian dilakukan untuk mengetahui hasil dari berbagai modalitas terapi batu ureter. Beberapa indikator keluaran yang sering dipakai adalah : angka bebas batu, jumlah prosedur dan komplikasi.

Angka bebas batu
            Angka ini dipakai untuk menentukan efikasi dari terapi batu ureter. Ini sangat penting pada batu ureter karena adanya fragmen batu yang tertinggal akan tetap memberikan keluhan klinis. Cara yang dipakai untuk menentukan angka bebas batu melalui evaluasi foto polos abdomen setelah tindakan. Khusus untuk pasien yang dilakukan observasi, penentuan angka bebas batu sedikit berbeda karena harus memperhatikan lamanya waktu tunggu, lokasi batu dan ukuran batu.
            Angka bebas batu dari masing-masing modalitas terapi selengkapnya lihat tabel.

Jumlah prosedur tiap pasien
            Mengenai jumlah prosedur tindakan dibedakan primer dan sekunder. Yang dimaksud prosedur primer adalah prosedur yang dipakai pada awal tindakan, sedang  prosedur sekunder adalah prosedur yang dipakai untuk tindakan berikutnya yang berbeda dengan prosedur awal ( primer ). Sehingga jumlah prosedur tindakan pada seseorang pasien bisa beberapa prosedur primer dan beberapa prosedur sekunder atau hanya beberapa prosedur primer saja.
            Tentang jumlah prosedur tindakan dari masing-masing modalitas terapi bisa dilihat di tabel.

Komplikasi
            Dibedakan komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang. Komplikasi akut yang sangat diperhatikan oleh penderita adalah kematian, kehilangan ginjal, kebutuhan transfusi dan tambahan intervensi sekunder yang tidak direncanakan. Data kematian, kehilangan ginjal dan kebutuhan transfusi pada tindakan batu ureter memiliki risiko sangat rendah. Komplikasi akut dapat dibagi menjadi yang signifikan dan kurang signifikan. Yang termasuk komplikasi signifikan adalah avulsi ureter, trauma organ pencernaan, sepsis, trauma vaskuler, hidro atau pneumotorak, emboli paru dan urinoma. Sedang yang termasuk kurang signifikan perforasi ureter, hematom perirenal, ileus, stein strasse, infeksi luka operasi, ISK dan migrasi stent. 
            Komplikasi jangka panjang adalah striktur ureter. Striktur tidak hanya disebabkan oleh intervensi, tetapi juga dipicu oleh reaksi inflamasi dari batu, terutama yang melekat. Angka kejadian striktur kemungkinan lebih besar dari yang ditemukan karena secara klinis tidak tampak dan sebagian besar penderita tidak dilakukan evaluasi radiografi ( IVP ) pasca operasi. Data selengkapnya dapat dilihat di tabel. (Lampiran)

Tabel 1. Prosedur per pasien batu ureter proksimal


Keseluruhan

Primer
Sekunder
Total

G/P
Prosedur
G/P
Prosedur
Prosedur
 Semua SWL
58/5.875
1.25
30/2.727
0.15
1.40
SWL + pushback
15/1.326
1.11
6/639
0.11
1.22
SWL + bypass
9/449
1.04
6/312
0.10
1.14
SWL in situ
31/2.334
1.32
15/1.126
0.17
1.49
PNL
20/594
1.02
13/513
0.11
1.13
Ureteroscopy
48/1.193
1.04
19/631
0.29
1.33
Operasi terbuka
8/227
1.00
1/20
0.10
1.10



Batu < = 1.0 cm

Primer
Sekunder
Total

G/P
Prosedur
G/P
Prosedur
Prosedur
Semua SWL
8/199
1.10
2/124
0.06
1.16
SWL + pushback
1/9
1.00
No data

1.00
SWL + bypass
No data

No data

0.00
SWL in situ
5/117
1.12
No data

1.12
PNL
2/8
1.00
No data

1.00
Ureteroscopy
8/37
1.00
1/16
0.38
1.38
Operasi terbuka
1/68
1.00
No data

1.00



Batu > 1.0 cm

G/P
Prosedur
G/P
Prosedur
Prosedur
Semua SWL
5/215
1.40
2/256
0.25
1.65
SWL + pushback
No data

No data

0.00
SWL + bypass
No data

No data

0.00
SWL in situ
3/57
1.86
No data

1.86
PNL
3/37
1.06
1/34
0.09
1.14
Ureteroscopy
5/42
1.14
1/26
0.38
1.52
Operasi terbuka
1/1
1.00
No data

1.00

Keterangan :
G : jumlah grup/kelompok tindakan yang digunakan
P : jumlah pasien pada kelompok

Sumber: AUA Guidelines 2005



Tabel 2. Prosedur per pasien batu ureter distal


Keseluruhan

Primer
Sekunder
Total

G/P
Prosedur
G/P
Prosedur
Prosedur
 Semua SWL
49/3.757
1.21
29/2.627
0.08
1.29
SWL + pushback
1/15
1.00
No data

1.00
SWL + bypass
6/434
1.13
4/346
0.05
1.18
SWL in situ
31/2.335
1.24
20/1.743
0.090.17
1.33
Blind Basket extraction
11/1.175
1.04
7/1.052
0.07
1.11
Ureteroscopy
42/2.283
1.01
15/847
0.07
1.08
Operasi terbuka
6/72
1.01
2/17
0.12
1.13



Batu < = 1.0 cm

Primer
Sekunder
Total

G/P
Prosedur
G/P
Prosedur
Prosedur
Semua SWL
9/95
1.27
1/43
0.09
1.36
SWL + pushback
No data

No data

0.00
SWL + bypass
No data

No data

0.00
SWL in situ
4/94
1.28
1/43
0.09
1.37
Blind Basket extraction
1/1
1.00
1/1
1.00
2.00
Ureteroscopy
5/129
1.00
2/31
0.13
1.13
Operasi terbuka
1 / 2
1.00
No data

1.00



Batu > 1.0 cm

G/P
Prosedur
G/P
Prosedur
Prosedur
Semua SWL
3/19
2.37
No data

2.37
SWL + pushback
No data

No data

0.00
SWL + bypass
No data

No data

0.00
SWL in situ
2/16
2.63
No data

2.63
Blind Basket extraction
No data

No data

0.00
Ureteroscopy
5/69
1.07
1/22
0.05
1.12
Operasi terbuka
1/1
1.00
No data

1.00

Keterangan :
G : jumlah grup/kelompok tindakan yang digunakan
P : jumlah pasien pada kelompok

Sumber: AUA Guidelines 2005




Tabel 3. Stone Free Rate


Keseluruhan
Ureter Proksimal
Ureter Distal
Ureter Proksimal
G/P
Median
CI (2,5-97,5)%
G/P
Median
CI (2,5-97,5)%
G/P
Median
CI (2,5-97,5)%
 Semua SWL
78/17.742
83 %
(81 – 85) %
17/8.052
84 %
(83 – 85) %
14/2.708
72%
(68 – 76) %
SWL + pushback
17/1.697
88 %
(83 – 92) %
3/48
77 %
(72 – 81) %
1/127
65 %
(56 – 72) %
SWL + bypass
14/3.749
82 %
(77 – 86) %
3/2.039
83 %
( 77 – 88) %
3/846
76 %
(62 – 87) %
SWL in situ
52/9.744
82 %
(79 – 85) %
11/5.167
87 %
(85 – 88) %
9/1.427
76 %
(73 – 79) %
PNL
22/612
86 %
(82 – 89) %
2/8
76 %
(33 – 98) %
3/37
74 %
(53 – 89) %
Ureteroscopy
62/1.769
72 %
(70 – 74) %
9/54
56 %
(43 – 70) %
5/42
44 %
(28 – 60) %
Operasi terbuka
10/265
97 %
(93 – 99) %
1/58
99 %
( 96 – 100) %
2/2
71 %
(23 – 98) %




















Ureter Distal









Semua SWL
66/9.422
85 %
(83 – 88) %
11/4.267
85 %
(84 – 86) 5
8/1.025
74 %
(71 – 77) %
SWL + pushback
1/15
79 %
(56 – 94) %


No data


No data
SWL + bypass
7/1.012
85 %
(79 – 92) %
2/481
83 %
(78 – 87) %
2/207
68 %
(59 – 75) %
SWL in situ
47/7.211
85 %
(83 – 88) %
8/3.676
85 %
(82 – 88) %
6/810
76 %
(66 – 83) %
Blind Basket extraction
11/943
73 %
(64 – 81) %
2/93
85 %
(72 – 95) %
1/12
50 %
(24 – 76) %
Ureteroscopy
59/3.978
90 %
(68 – 92) %
5/130
89 %
(82 – 95)%
6/100
73 %
(63 – 82) %
Operasi terbuka
6/72
87 %
(73 – 96) %
1 / 2
90 %
(33 – 100) %
1/1
84 %
(15 – 100) %
Keterangan :
G : jumlah grup/kelompok tindakan yang digunakan
P : jumlah pasien pada kelompok

Sumber: AUA Guidelines 2005


Tabel 4. Komplikasi yang terjadi


Keseluruhan
Ureter Proksimal
Ureter Distal
Bermakna
G/P
Median
CI (2,5-97,5)%
G/P
Median
CI (2,5-97,5)%
G/P
Median
CI (2,5-97,5)%
 Semua SWL
15/1931
2 %
(1 – 3)%
4/516
4 %
(2 – 7)%
4/334
4 %
(2 – 7)%
SWL + pushback
2/336
2 %
(1 – 3)%
2/336
2 %
(1 – 3)%



SWL + bypass
1/47
3 %
(0 – 10)%
1/47
3 %
(0 – 10)%



SWL in situ
7/733
4 %
(3 – 6)%
4/469
4 %
(2 – 7)%
1/97
3 %
(1 – 8)%
PNL
7/230
8 %
(5 – 13)%
5/519
9 %
(5 – 15)%
n/a
n/a

Blind Basket extraction
9/2117
7 %
(3 – 12)%
N/A
n/a

5/775
5 %
(3 – 8)%
Ureteroscopy
31/3260
4 %
(3 – 6)%
4/110
11 %
(5 – 18)%
3/83
9 %
(3 – 20%)
Operasi terbuka
6/584
13 %
(10 – 16)%
3/65
8 %
(2 – 19)%























Kurang bermakna









Semua SWL
14/1527
4 %
(3 – 7)%
9/803
6 %
(3 – 9)%
2/95
9 %
(1 -26)%
SWL + pushback
5/831
4 %
(3 – 7)%
5/831
5 %
(3 – 7)%


No data
SWL + bypass
3/91
17 %
(9 – 28)%
3/91
17 %
(9 – 28)%


No data
SWL in situ
6/492
5 %
(2 – 8)%
4/356
4 %
(2 – 7)%
1/39
16 %
(7 – 29)%
PNL
12/544
12 %
(7 – 19)%
10/425
13 %
(7 – 21)%
n/a
n/a
n/a
Blind Basket extraction
5/1355
1 %
(1 – 3)%
n/a
n/a
n/a
2/215
3 %
(1 – 6)%
Ureteroscopy
58/7545
6 %
(5 – 7)%
4/163
11 %
(5 – 19)%
5/1124
1 %
(1 – 2)%
Operasi terbuka
7/389
6 %
(4 – 10)%
4/126
10 %
(5 – 18)%
2/55
8 %
(2 – 21)%
Keterangan :
G : jumlah grup/kelompok tindakan yang digunakan
P : jumlah pasien pada kelompok


Sumber: AUA Guidelines 2005





Keseluruhan
Ureter Proksimal
Ureter Distal
Intervensi sekunder
G/P
Median
CI (2,5-97,5)%
G/P
Median
CI (2,5-97,5)%
G/P
Median
CI (2,5-97,5)%
 Semua SWL
72/8350
12 %
(10 – 14)%
30/2727
14 %
(12 – 19)%
29/2627
10 %
(8 – 12)%
SWL + pushback
7/668
13 %
(8 – 19)%
6/639
12 %
(10 – 15)%


No data
SWL + bypass
10/667
10 %
(7 – 14)%
7/312
12 %
(8 – 18)%
4/346
6 %
(2 – 11)%
SWL in situ
45/4660
 12 %
(10 – 15)%
15/1126
17 %
(13 – 23)%
20/1743
10%
(8 – 12)%
PNL
15/584
16 %
(12 – 21)%
13/513
15 %
(10 – 21)%
n/a
n/a

Blind Basket extraction
19/2558
12 %
(8 – 18)%
N/A
n/a
n/a
7/1052
10 %
(5 – 16)%
Ureteroscopy
80/8744
11 %
(10 – 12)%
19/631
27 %
(22 – 33)%
15/847
7 %
(5 – 10%)
Operasi terbuka
5/234
9 %
(6 – 15)%
1/20
11 %
(2 – 28)%
2/17
18 %
(4 -45)%






























Komplikasi Panjang



















Striktur









Semua SWL


No data


No data


No data
SWL + pushback


No data


No data


No data
SWL + bypass


No data


No data


No data
SWL in situ


No data


No data


No data
PNL
7/166
8 %
(4 – 14)%
4/93
8 %
(3 – 16)%
n/a
n/a
n/a
Blind Basket extraction
3/483
2 %
(1 – 4)%
n/a
n/a
n/a
1/193
1 %
(0 – 3)%
Ureteroscopy
38/3414
2 %
(1 – 2)%
7/218
2 %
(1 – 4)%
7/450
1 %
(0 – 2)%
Operasi terbuka
2/1089
3 %
(0 – 11)%
1/50
1 %
(0 – 5)%


No data
Keterangan :
G : jumlah grup/kelompok tindakan yang digunakan
P : jumlah pasien pada kelompok
Sumber: AUA Guidelines 2005

Pedoman Pilihan Terapi
            Pedoman pilihan terapi ini dibagi dalam beberapa kategori. Pencantuman angka berdasarkan konsensus yang dicapau oleh tim penyusun guidelines ini dan diformulasikan dalam berbagai tingkatan sesuai urutan rekomendasi. Berikut ini untuk tiga pedoman pertama digunakan pada batu ureter proksimal dan distal, sedang pedoman selanjutnya dibedakan antara batu ureter proksimal dan distal :
1.     Pedoman untuk batu ureter dengan kemungkinan kecil keluar spontan :
Batu ureter yang kemungkinan kecil bisa keluar spontan harus diberitahu kepada pasiennya tentang perlunya tindakan aktif dengan berbagai modalitas terapi yang sesuai, termasuk juga keuntungan dan risiko dari masing-masing modalitas terapi.

2.    Pedoman untuk batu ureter dengan kemungkinan besar keluar spontan :
Batu ureter yang baru terdiagnosis dan kemungkinan besar keluar spontan, yang keluhan/gejalanya dapat diatasi, direkomendasikan untuk dilakukan terapi konservatif dengan observasi secara periodik sebagai penanganan awal.

3.    Penanganan batu ureter dengan SWL.
Stenting rutin untuk meningkatkan efisiensi pemecahan tidak direkomendasi sebagai bagian dari SWL.


4.    Untuk batu £ 1 cm di ureter proksimal
Pilihan terapi :
1.    SWL  
2.    URS + litotripsi
3.    Ureterolitotomi

5.    Untuk batu > 1 cm di ureter proksimal
Pilihan terapi :
1.    Ureterolitotomi
2.    SWL, PNL dan URS + litotripsi

6.    Untuk batu £ 1 cm di ureter distal
Pilihan terapi :
1.    SWL atau URS + litotripsi
2.    Ureterolitotomi

7.    Untuk batu > 1 cm di ureter distal
Pilihan terapi :
1.    URS + litotripsi
2.    Ureterolitotomi
3.    SWL


BATU GINJAL

Indikasi untuk melakukan tindakan aktif ditentukan berdasarkan ukuran, letak dan bentuk dari batu. Kemungkinan batu dapat keluar spontan juga merupakan bahan pertimbangan. Batu berukuran kurang dari 5 mm mempunyai kemungkinan keluar spontan 80%. Tindakan aktif umumnya dianjurkan pada batu berukuran lebih dari 5 mm terutama bila disertai :1
a.    Nyeri yang persisten meski dengan pemberian medikasi yang adekuat
b.    Obtruksi yang persisten dengan risiko kerusakan ginjal
c.    Adanya infeksi traktus urinarius
d.    Risiko pionefrosis atau urosepsis
e.    Obstruksi bilateral

Untuk praktisnya, pedoman penatalaksaan batu ginjal ini diuraikan dalam empat  bagian, yaitu:
a.   Penatalaksanaan untuk batu ginjal nonstaghorn
b.   Penatalaksanaan untuk batu cetak/ staghorn
c.   Penatalaksanaan batu ginjal dengan kelainan khusus
d.   Penatalaksanaan batu ginjal pada anak

Faktor penting yang juga menjadi pertimbangan adalah ketersediaan alat, prasarana, sarana dan kemampuan ahli urologi dalam melakukan modalitas terapi yang ada. Apa yang dicantumkan dalam pedoman ini sebagai standar, rekomendasi ataupun opsional adalah jika alat, prasarana, sarana dan kemampuan operator memungkinkan untuk melakukan modalitas terapi yang disarankan.

A.  PEDOMAN PENATALAKSANAAN BATU GINJAL NONSTAGHORN
     
A.1. Ukuran Batu < 20 mm
1. Latar Belakang
            Beberapa modalitas terapi dapat digunakan untuk penatalaksanaan batu ginjal   < 20 mm, yaitu:1
- Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL)
- Percutaneus nephrolithotomy (PNL)
- Operasi terbuka
- Kemolisis oral

2. Analisis keluaran
a. Stone free rate
             Secara umum, yang dimaksud dengan stone free rate adalah persentase pasien tanpa sisa  batu pasca prosedur. Khusus untuk ESWL, pengertian stone free rate ini bisa berupa tidak adanya sisa batu ataupun adanya sisa/ fragmen  batu  yang tidak signifikan secara klinis (clinically insignificant fragment = CIRF). Belum  ada keseragaman dalam menentukan CIRF sampai saat ini, secara umum literatur menggunakan pada sisa/ fragmen berukuran kurang 2-5 mm, tidak ada infeksi saluran kemih dan tidak ada keluhan pada pasien yang dievaluasi tiga bulan setelah penembakan.2-4
      ESWL merupakan metode yang efektif untuk penanganan batu ginjal < 20 mm.5 Batu dengan ukuran < 10 mm mempunyai stone free rate 84% (64%-92%) dan batu berukuran 10-20 mm mempunyai stone free rate 77% (59%-81%).6 Komposisi batu berpengaruh terhadap keberhasilan ESWL. Batu dengan komposisi asam urat dan kalsium oksalat dihidrat memiliki koefisien fragmentasi yang baik, sementara batu kalsium oksalat monohidrat dan batu sistin lebih sulit mengalami fragmentasi. Stone free rate untuk kalsium  oksalat monohidrat 38-81% sedangkan untuk batu sistin 60-63%. Jika berukuran < 15 mm, stone free rate batu sistin masih 71%, sedangkan jika sudah > 20 mm, stone free rate menjadi hanya 40%. Adanya hidronefrosis dan adanya infeksi ginjal juga mempengaruhi hasil ESWL. Persentase keberhasilan ESWL pada ginjal tanpa hidronefrosis 83%, turun menjadi 50% pada hidronefrosis derajat sedang dan sangat rendah pada hidronefrosis yang berat. Karenanya, dianjurkan untuk dilakukan nefrostomi dan pemberian antibiotik selama 3-5 hari sebelum ESWL pada kasus batu ginjal dengan hidronefrosis.5-7
      PNL mempunyai efektivitas yang sama baiknya dengan ESWL untuk batu ginjal < 20 mm. Namun, PNL merupakan prosedur yang lebih invasif dibanding ESWL. Karena itu, ESWL lebih direkomendasikan daripada PNL untuk batu < 20 mm, kecuali pada kasus khusus, seperti batu pada kaliks inferior dengan infundibulum yang panjang dan sudut infundibulopelvis yang tajam ataupun pada kaliks yang obstruktif. Stone free rate pada kasus ini dengan ESWL kurang dari 50%. Pada batu berukuran 10-20 mm yang terletak di kaliks inferior, perbandingan stone free rate antara ESWL dan PNL adalah 57% : 73%.8-10
      Kemolisis oral dianjurkan untuk batu dengan komposisi asam urat. Caranya adalah dengan asupan cairan yang banyak ( lebih dari 2000 ml/ 24 jam), alkalinisasi urin (kalium sitrat 3 x 6-10 mmol, natrium kalium sitrat 3 x 9-18 mmol dan natrium bikarbonat 3 x 500 mg). Jika dijumpai hiperurikosuria (>1000 mg/ hari) dengan hiperurisemia diberikan allopurinol 300 mg/ hari. Penyesuaian dosis dilakukan pada pasien dengan insufisiensi ginjal.11-13

b.    Jumlah prosedur
      Jumlah prosedur harus dipisahkan antara prosedur sekunder dan prosedur tambahan. Prosedur sekunder merupakan prosedur yang merupakan bagian dari prosedur untuk pengangkatan batu, sedangkan prosedur tambahan adalah prosedur untuk mengatasi komplikasi dan prosedur insidental untuk pengangkatan batu (seperti insersi atau pengangkatan stent). Sayangnya, pada sebagian besar penelitian tidak disebutkan/ dibedakan antara prosedur sekunder dan prosedur tambahan ini.         
      Prosedur sekunder pada ESWL untuk batu ukuran < 20 mm terjadi pada 7,4% kasus sedangkan pada PNL pada 6,9%  kasus. Prosedur tambahan pada ESWL dijumpai pada 11,3% kasus dibandingkan 1,2% pada PNL.2
      Jenis batu berkaitan dengan jumlah ESWL yang diperlukan. Pada batu kalsium oksalat monohidrat, perlunya penembakan tambahan terjadi pada 10,3% kasus, pada batu struvit 6,4% sedangkan batu kalsium oksalat dihidrat 2,8%.
      Banyaknya ESWL sebaiknya tidak lebih dari 3-5 kali (tergantung dari jenis lithotiptornya). Jika perlu dilakukan pengulangan, tidak ada standar baku lamanya interval antar penembakan. Namun biasanya hal ini disesuaikan dengan jenis lithotriptornya: pada mesin ESWL elektrohidrolik, interval waktu minimal 4-5 hari sedangkan pada piezoelektrik bisa lebih singkat (2 hari). Maksimal gelombang kejut yang diberikan setiap penembakan juga disesuaikan dengan jenis mesin ESWL, pada jenis elektrohidrolik sebaiknya tidak melebihi 3500, sedangkan pada piezoelektrik sebaiknya tidak melebihi 5000.14

3.   Pedoman pilihan terapi
          Jika alat, prasarana, dan sarana lengkap dan kemampuan operator memungkinkan untuk melaksanakan seluruh modalitas terapi yang ada, maka berikut adalah pedoman prosedur yang dianjurkan:
1.     ESWL monoterapi
2.    PNL untuk kaliks inferior ukuran 10 – 20 mm
3.    Operasi terbuka
4.    Kemolisis oral untuk batu asam urat murni


A.2.   Ukuran Batu > 20 mm
1.   Latar Belakang
            Beberapa modalitas terapi dapat digunakan untuk penatalaksanaan batu ginjal   > 20 mm,  yaitu:
- ESWL ± pemasangan stent
- PNL
- Terapi kombinasi (PNL + ESWL)
- RIRS atau laparoskopi
- Operasi terbuka
- Kemolisis oral

2.   Analisis keluaran
a. Stone free rate
             Secara keseluruhan, stone free rate untuk batu 20-30 mm dengan ESWL lebih rendah dibandingkan pada batu < 20 mm  (rentang 33%-65%). Stone free rate PNL pada batu berukuran 20-30 mm mencapai 90%. Beberapa faktor menjadi pertimbangan dalam pemilihan ESWL untuk batu berukuran > 20 mm:
- Lokasi batu
Batu yang terletak di kaliks inferior mempunyai stone free rate yang rendah dibanding batu yang terdapat di lokasi lain, stone free rate paling tinggi dijumpai pada batu di pielum. PNL merupakan pilihan pada batu di kaliks inferior yang berukuran > 15 mm.2,15-17

- Total stone burden
Tidak ada batasan yang pasti mengenai ukuran batu tetapi  ukuran 40 x 30 mm dapat dipakai sebagai pedoman. Monoterapi ESWL (dengan pemasangan stent) mempunyai stone free rate 85% jika batu berukuran < 40 x 30 mm setelah 3 bulan penembakan. Angka ini turun menjadi 43% pada batu berukuran > 40 x 30 mm. Dengan terapi kombinasi (PNL dan ESWL), stone free rate mencapai 71%-96% pada batu > 40 x 30 mm, dengan morbiditas dan komplikasi yang kecil. Keberhasilan lebih tinggi jika ESWL dilakukan setelah PNL.2,18

- Kondisi ginjal kontralateral
Jika kondisi ginjal kontralateral yang buruk atau pada  ginjal soliter, ESWL monoterapi merupakan alternatif pertama karena efeknya yang lebih ringan dibanding terapi PNL atau kombinasi.19

- Komposisi dan kekerasan batu
ESWL memberikan hasil yang cukup baik pada batu kalsium atau struvite. Sekitar 1% batu mengandung sistin, tiga perempatnya berukuran kurang dari 25 mm. Batu sistin besar memerlukan penembakan tambahan hingga 66% kasus. Pada batu sistin, khususnya yang berukuran > 15 mm, terapi dengan PNL atau kombinasi PNL dan ESWL lebih efektif ketimbang ESWL yang berulang kali.20,21
        
Kemolisis oral merupakan terapi lini pertama untuk batu asam urat. Pada batu yang besar, disolusi dapat dipercepat dengan ESWL. Stone free rate pada batu asam urat besar dengan ESWL dan kemolisis oral dapat mencapai hingga 85%.2
            Peran laparoskopi dalam penanganan batu ginjal > 20 mm masih bersifat eksperimental.

b.    Jumlah prosedur
      Prosedur sekunder pada ESWL untuk batu ukuran > 20 mm terjadi pada 33,1% kasus sedangkan pada PNL pada 26,1%  kasus. Prosedur tambahan pada ESWL dijumpai pada 28,7% kasus dibandingkan 4,3% pada PNL. Pada batu kaliks inferior berukuran > 10 mm, angka terapi ulang dan prosedur tambahan pada ESWL (16% dan 14%) lebih tinggi dibanding PNL (9% dan 2%).2

3. Pedoman pilihan terapi
Jika alat, prasarana, dan sarana lengkap dan kemampuan operator memungkinkan untuk melaksanakan seluruh modalitas terapi yang ada, maka berikut adalah prioritas pilihan prosedur yang dianjurkan:
1.     PNL atau ESWL (dengan atau tanpa pemasangan DJ stent)
2.    Operasi terbuka


Komplikasi
      Pada batu ginjal nonstaghorn, komplikasi berupa kehilangan darah, demam, dan terapi nyeri yang diperlukan selama dan sesudah prosedur lebih sedikit dan berbeda secara bermakna pada ESWL dibandingkan dengan PNL. Demikian pula ESWL dapat dilakukan dengan rawat jalan atau perawatan yang lebih singkat dibandingkan PNL.2,4,8,10

Jenis morbiditas
ESWL
PNL
Penurunan hemoglobin
     Praterapi
     Pascaterapi

14,6
14,1*

13,7
12,2
Suhu maksimal (°C)
     ³ 39 °C
     38 °C
     < 38 ° C

4 (0,5%)*
111 (15%)
635 (85%)

12 (11%)
37 (34%)
60 (55%)
Terapi nyeri
     Tanpa obat
     Terapi oral
     Narkotik im

586 (51%)*
191 (17%)
369 (32%)

10 (9%)
15 (4%)
85 (77%)
* p < 0,05
Sumber: Lingeman JE (1987)


B.    PEDOMAN PENATALAKSANAAN BATU CETAK GINJAL/ STAGHORN

1.     Latar Belakang
Belum ada kesepakatan mengenai definisi batu cetak/ staghorn ginjal. Definisi yang sering dipakai adalah batu ginjal yang menempati lebih dari satu collecting system, yaitu batu pielum yang berekstensi ke satu atau lebih kaliks. Istilah batu cetak/ staghorn parsial digunakan jika batu menempati sebagian cabang collecting system, sedangkan istilah batu cetak/staghorn komplit digunakan batu jika menempati seluruh collecting system.1
Komposisi tersering batu cetak ginjal adalah kombinasi magnesium amonium fosfat (struvit) dan/ atau kalsium karbonat apatit. Komposisi lain dapat berupa sistin dan asam urat, sedangkan kalsium oksalat dan batu fosfat jarang dijumpai. Komposisi struvite/ kalsium karbonat apatit erat berkaitan dengan infeksi traktus urinarius yang disebabkan oleh organisme spesifik yang memproduksi enzim urease yang menghasilkan amonia dan hidroksida dari urea. Akibatnya, lingkungan urin menjadi alkali dan mengandung konsentrasi amonia yang tinggi, menyebabkan kristalisasi magnesium amonium fosfat (struvit) sehingga menyebabkan batu besar dan bercabang. Faktor-faktor lain turut berperan, termasuk pembentukan biofilm eksopolisakarida dan penggabungan mukoprotein dan senyawa organik menjadi matriks.  Kultur dari fragmen di permukaan dan di dalam batu menunjukkan bakteri tinggal di dalam batu, sesuatu yang tidak dijumpai pada jenis batu lainnya. Terjadi infeksi saluran kemih berulang oleh organisme pemecah urea selama batu masih ada.1
Batu cetak ginjal yang tidak ditangani akan mengakibatkan kerusakan ginjal dan atau sepsis yang dapat mengancam jiwa. Karena itu, pengangkatan seluruh batu merupakan tujuan utama untuk mengeradikasi organisme penyebab, mengatasi obstruksi, mencegah pertumbuhan batu lebih lanjut dan infeksi yang menyertainya serta preservasi fungsi ginjal. Meski beberapa penelitian menunjukkan kemungkinan untuk mensterilkan fragmen struvite sisa dan membatasi aktivitas pertumbuhan batu, sebagian besar penelitian mengindikasikan, fragmen batu sisa dapat tumbuh dan menjadi sumber infeksi traktus urinarius yang berulang.1

Modalitas terapi untuk batu cetak ginjal adalah:
1.     PNL monoterapi
2.    Kombinasi PNL dan ESWL
3.    ESWL monoterapi
4.    Operasi terbuka
5.    Kombinasi operasi terbuka dan ESWL

2.    Analisis Keluaran
Jika tidak diterapi, batu cetak ginjal terbukti akan menyebabkan kerusakan ginjal. Pasien dapat mengalami infeksi saluran kemih berulang, sepsis dan nyeri. Selain itu, batu akan mengakibatkan  kematian. Terapi nonbedah, seperti terapi antibiotik, inhibitor urease, dan terapi suportif lainnya, bukan merupakan alternatif terapi kecuali pada pasien yang tidak dapat menjalani prosedur tindakan pengangkatan batu. Pada analisis retrospektif 200 pasien dengan batu cetak ginjal yang menjalani terapi konservatif, 28% mengalami gangguan fungsi ginjal.

a.    Stone Free Rate
Secara keseluruhan, stone free rate setelah terapi paling tinggi pada PNL (78%) dan paling rendah pada SWL (54%). Pada terapi kombinasi (PNL dan SWL), stone free rate lebih rendah jika SWL dilakukan terakhir (66%) dan dapat menjadi 81% jika dilakukan PNL-ESWL-PNL. Pada operasi terbuka, stone free rate berkisar antara 71%-82%. Angka ini lebih rendah jika batunya lebih kompleks.1,22-24

                     Sumber: AUA Guidelines 2005

Stone free rate juga dihubungkan dengan klasifikasi batu cetak (parsial atau komplit). Pada batu cetak parsial, angka stone free rate lebih tinggi dibandingkan batu cetak komplit. Pada PNL, stone free rate batu cetak parsial 74% dibandingkan 65% pada batu cetak komplit.1,22

b.    Jumlah Prosedur
Pada pedoman American Urological Association (AUA) tahun 2004, PNL membutuhkan total rata-rata 1,9 prosedur, ESWL 3,6 prosedur dan terapi kombinasi membutuhkan 3,3 prosedur untuk penatalaksanaan batu cetak ginjal. Operasi terbuka membutuhkan total 1,4 prosedur.
Jumlah prosedur juga berkaitan dengan klasifikasi batu cetak (parsial atau total). Pasien batu cetak parsial menjalani 2,1 prosedur dibandingkan 3,7 prosedur pada pasien batu cetak komplit.1,9,10

c.    Komplikasi
Komplikasi akut meliputi transfusi, kematian, dan komplikasi keseluruhan. Dari meta-analisis, kebutuhan transfusi pada PNL dan kombinasi terapi sama (< 20%). Kebutuhan transfusi pada ESWL sangat rendah kecuali pada hematom perirenal yang besar. Kebutuhan transfusi pada operasi terbuka mencapai 25-50%.
Mortalitas akibat tindakan jarang, namun dapat dijumpai, khususnya pada pasien dengan komorbiditas atau mengalami sepsis dan komplikasi akut lainnya. Dari data yang ada di pusat urologi di Indonesia, risiko kematian pada operasi terbuka kurang dari 1%.
Pedoman AUA menyebutkan adanya kesulitan dalam menarik kesimpulan dari laporan komplikasi akibat ketiadaan keseragaman laporan. Misalnya, pasien dengan demam dikelompokkan sebagai sepsis oleh sejumlah peneliti, namun hanya demam saja oleh peneliti lainnya. Perkiraan komplikasi keseluruhan yang diakibatkan oleh keempat prosedur sama dan berkisar antara 13%-19%.
Hanya ada satu penelitian yang melihat komplikasi yang dikaitkan dengan klasifikasi batu cetak (parsial atau komplit). Dari penelitian itu didapatkan, komplikasi berkaitan dengan ukuran batu (stone burden). 1,9,10

3.    Pedoman pemilihan modalitas terapi
Pasien yang didiagnosis batu cetak ginjal dianjurkan untuk diterapi secara aktif.
Terapi standar, rekomendasi dan optional pada pasien batu cetak ginjal berlaku untuk pasien dewasa dengan batu cetak ginjal (bukan batu sistin dan bukan batu asam urat) yang kedua ginjalnya berfungsi (fungsi keduanya relatif sama) atau ginjal soliter dengan fungsi normal dan kondisi kesehatan yang secara umum, habitus, dan anatomi memungkinkan untuk menjalani keempat modalitas terapi, termasuk pemberian anestesi. Pedoman pilihan terapi meliputi :
  1. PNL (dengan atau tanpa kombinasi ESWL)
  2. Operasi terbuka (dengan atau tanpa kombinasi ESWL)

Pada pasien yang tidak memenuhi kriteria tersebut, pilihan terapi ditentukan berdasarkan pertimbangan individual.



C.   Penatalaksanaan batu ginjal pada anak
1.   Latar Belakang
      Penelitian mengenai penggunaan berbagai modalitas penatalaksanaan untuk anak tidak selengkap pada orang dewasa, namun dalam dekade terakhir ini jumlahnya mulai banyak ditemukan.

2.   Analisis Keluaran
            Terapi batu pada anak dengan ESWL mulai banyak dilakukan. Disintegrasi dan bersihan batu lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan orang dewasa. Kemungkinan hal ini sebabkan gelombang kejut ditransmisikan dengan kehilangan energi yang lebih sedikit. Selain itu komposisi batu dan pembentukan batu yang lebih singkat, ureter yang lebih pendek dan elastis memungkinkan transmisi fragmen batu yang lebih mudah serta mencegah terjadinya impaksi batu. Pada batu ginjal, stone free rate mencapai 63%-100% dengan penembakan 1 hingga 3 sesi, tergantung dari ukuran dan lokasi batu. Penggunaan ESWL monoterapi pada batu cetak ginjal memberikan hasil stone free rate 73,3% setelah rata-rata dua kali penembakan.2,25-32
            Penanganan batu ginjal anak berukuran rata-rata 47 mm (rentang 25-50 mm) dengan PNL memberikan hasil stone free rate 67,7%, 274% memerlukan tambahan ESWL untuk menghasilkan bersihan batu yang komplit.33-35
Stone free rate pada operasi terbuka batu ginjal anak mencapai 97,8%.
            Komplikasi ESWL meliputi  kolik renal (10,1%), demam (8,5%), urosepsis (1,1%) dan steinstrasse (1,1%). Hematom ginjal terjadi akibat trauma parietal dan viseral. Hasil studi pada hewan tidak menunjukkan adanya kelainan lanjut yang berarti. Dalam evaluasi jangka pendek pada anak pasca ESWL, dijumpai adanya perubahan fungsi tubular yang bersifat sementara yang kembali normal setelah 15 hari. Belum ada data mengenai efek jangka panjang pasca ESWL pada anak.
            Komplikasi pasca PNL meliputi demam (46,8%) dan hematuria yang memerlukan transfusi (21%). Konversi ke operasi terbuka pada 4,8% kasus akibat perdarahan intraoperatif, dan 6,4% mengalami ekstravasasi urin. Pada satu kasus dilaporkan terjadi hidrothoraks pasca PNL.        1
Komplikasi operasi terbuka meliputi leakage urin (9%), infeksi luka (6,1%), demam (24,1%), dan perdarahan pascaoperasi (1,2%).35

3.   Pedoman Penatalaksanaan
ESWL monoterapi, PNL, atau operasi terbuka dapat merupakan pilihan terapi untuk  pasien anak-anak

Daftar Pustaka
1.     American Urological Association. AUA Guideline on the Management of Staghorn Calculi:Diagnosis and Treatment Recommendations. 2005
2.     Wilbert DM. A comparative review of extracorporeal shock wave generation. BJU Int 2002; 90: 507 – 11.
3.     Renner Ch, Rassweiler J. Treatment of renal stones by extracorporeal shock wave lithotripsy. Nephron 1999; 81 (suppl 1): 71 – 81.
4.     Skolarikos A, Alivizatos G, de la Rossette J. Extracorporeal shock wave lithotripsy 25 years later: complication and their prevention. Eur Urol 2006. (Article in press)
5.     Atala A, Steinbock GS. Extracorporeal shock wave lithotripsy of renal calculi. Am J of Surgery 1989; 157: 350 – 8.
6.     Drach GW, Dretler S, Fair W, Finlayson B, Gillenwater J, Griffith D, et al. Report of the United States cooperative study of extracorporeal shock wave lithotripsy. J Urol 1986; 135: 1127 – 37.
7.     Logarakis NF, Jewett MAS, Luymes J, Honey JDA. Variation in clinical outcome following shock wave lithotripsy. J Urol 163: 721 – 5.
8.     Mays N. Relative costs and cost –effectiveness of extracorporeal shock wave lithotripsy versus percutaneous nephrolithotomy in the treatment of renal and ureteric stone. Soc Sci Med 1991; 12: 1401 – 12.
9.     Segura JW. The role of percutaneous surgery in renal and ureteral stone removal. J Urol 1989; 141: 780 – 1.
10.  Lingeman JE, Coury TA, Newman DM, Kahnoski RJ, Mertz JHO, Mosbaugh PG, et al. Comparison of results and morbidity of percutaneous nephrostolithotomy and extracorporeal shock wave lithotripsy. J Urol 1987; 138: 485 – 90.
11.  Pak CYC, Barilla DE, Holt K, Brinkley L, Tolentino R, Zerwekh JE. Effect of oral purine load and allopurinol on the crystallization of calcium salts in urine of patients with hyperuricosuric calcium urolithiasis. Am J of Medicine 1978; 85: 593 – 9.
12.  Shekarriz B, Stoller ML. Uric acid nephrolithiasis : current concepts and controversies. J Urol 2002; 168: 1307 – 14.
13.  Hande KR. Noone RM, Stone WJ. Severe allopurinol toxicity. Am J of Medicine 1984; 76: 47 – 56.
14.  Tiselius HG, Ackermann D, Alken P, Buck C, Conort P, Galucci M. Guidelines of urolithiasis. European Association of Urology 2001.
15.  Lingeman JE, Siegel YI, Steele B, Nyhuis AW, Woods JR. Management of lower pole nephrolithiasis : a critical analysis. J Urol 1994; 151: 663 – 7.
16.  Netto NR Jr, Claro JFA, Lemos GC, Cortado PL. Renal calculi in lower pole calices : what is the best method of treatment? J Urol 1991; 146: 721 – 3.
17.   Netto NR Jr, Claro JFA, Cortado PL, Lemos GC. Adjunct controlled inversion therapy following extracorporeal shock wave lithotripsy for lower pole caliceal stone. J Urol 1991; 146: 953 – 4.
18.  Ackermaan D, Claus R, Zehntner C, Scheiber K. Extracorporeal shock wave lithotripsy for large renal stones. To what size is extracorporeal shock wave lithotripsy alone feasible ? Eur Urol 1988; 15 (1-2): 5 – 8. (abstract)
19.  Cohen ES, Schmidt JD. Extracorporeal shock wave lithotripsy for stones in solitary kidney. Urology 1990: 36: 52 – 4.
20.  Klee LW, Brito CG, Lingeman JE. The clinical implications of brushite calculi. J Urol 1991; 145: 715 – 8.
21.  Kachel TA, Vijan SR, Dretler SP. Endourological experience with cystine calculi and a treatment algorithm. J Urol 1991; 145: 25 – 8.
22.  Al-kohlany KM, Shokeir AA, Mosbah A, Mohsen T, Shoma AM, Eraky I, et al. Treatment of complete staghorn stones : a prospective randomized comparison of open surgery versus percutaneous nephrolithotomy. J Urol 2005; 173: 469 – 73.
23.  Recker F, Konstantinidis K, Jaeger P, Knonagel H, Alund G, Hauri D. The staghorn calculus : anathropic nephrolithotomy versus percutaneous litholapxy and extracorporeal shock wave lithotripsy monotherapy. A report of over 6 year’s experience. Urologe A 1989; 28(3): 152 – 7.(Abstract)
24.  Constantinides C, Recker F, Jaeger P, Hauri D. Extracorporeal shock wave lithotripsy as monotherapy of staghorn renal calculi : 3 years of experience. J Urol 1989; 142: 1415 – 8.
25.  Demirkeses O, Onal B, Tansu N, Altintas R, Yalcin V, Oner A. Efficacy of extracorporeal shock wave lithotripsy for isolated lower caliceal stones in children compared with stones in other renal locations. Urology  2006; 67: 170 – 5.
26.  Ather MH, Noor MA. Does size and site matter for renal stones up to 30-mm in size in children treated by extracorporeal lithotripsy? Uology 2003; 61: 212 – 5.
27.  Afshar K, McLorie G, Papanikolaou F, Malek R, Harvey E, Pippi-Salle JL, et al. Outcome of small residual stone fragments following shock wave lithotripsy in children. J Urol 2004; 172: 1600 – 3.
28.  Gofrit ON, Pode D, Meretyk S, Katz G, Shapiro A, Golijanin D, et al. Is the pediatric ureter as efficient as the adult ureter in transporting fragments following extracorporeal shock wave lithotripsy for renal calculi larger than 10 mm? J Urol 2001; 166: 1862 – 4.
29.  Villanyi KK, Szekely JG, Parkas LM, Javor E, Pusztai C. Short-term changes in renal function after extracorporeal shock wave lithotripsy in children. J Urol 2001; 166: 222 – 4.
30.  Orsola A, Diaz I, Caffaratti J, Izquierdo F, Alberola J, Garat JM. Staghorn calculi in children: treatment with monotherapy extracorporeal shock wave lithotripsy. J Urol 1999; 162: 1229 – 33.
31.  Losty P, Surana R, O’Donnell B. Limitations of extracorporeal shock wave lithotripsy for urinary tract calculi in young children. J Ped Surg 1993; 28 (8): 1037 – 9.
32.  Shukla AR, Hoover DL, Homsy YL, Perlman S, Schurman S, Reisman EM. Urolithiasis in the low birth weight infant: the role and efficacy of extracorporeal shock wave lithotripsy. J Urol 2001, 165: 2320 – 3.
33.  Mor Y, Elmasry YET, Kellett MJ, Duffy PG. The role of percutaneous nephrolithotomy in the management of pediatric renal calculi. J Urol 1997; 158: 1319 – 21.
34.  Kurzrok EA, Huffman JL, Hardy BE, Fugelso P. Endoscopic treatment of pediatric urolithiasis. J Ped Surg 1996; 31 (10): 1413 – 6.
35.  Rizvi SAH, Naqvi SAA, Hussain Z, Hashmi A, Hussain M, Nafar MN, et al. Management of pediatric urolithiasis in Pakistan : experience with 1440 children. J Urol 2003; 169: 634 – 7.


BATU KANDUNG KEMIH


·         Latar belakang :
Kasus batu kandung kemih pada orang dewasa di Negara barat sekitar 5% dan terutama diderita oleh pria, sedangkan pada anak-anak insidensinya sekitar 2-3%.  Beberapa faktor risiko terjadinya batu kandung kemih : obstruksi infravesika, neurogenic bladder, infeksi saluran kemih (urea-splitting bacteria), adanya benda asing, divertikel kandung kemih.
Di Indonesia diperkirakan insidensinya lebih tinggi dikarenakan adanya beberapa daerah yang termasuk daerah stone belt dan masih banyaknya kasus batu endemik yang disebabkan diet rendah protein, tinggi karbohidrat dan dehidrasi kronik.
Pada umumnya komposisi batu kandung kemih terdiri dari : batu infeksi(struvit), ammonium asam urat dan kalsium oksalat.
Batu kandung kemih sering ditemukan secara tidak sengaja pada penderita dengan gejala obstruktif dan iritatif saat berkemih. Tidak jarang penderita datang dengan keluhan disuria, nyeri suprapubik, hematuria dan buang air kecil berhenti tiba-tiba.

Metodologi
·         Analisis keluaran :
Pada saat ini ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menangani kasus batu kandung kemih. Diantaranya : vesikolitolapaksi, vesikolitotripsi dengan berbagai sumber energi (elektrohidrolik, gelombang suara, laser, pneumatik), vesikolitotomi perkutan, vesikolitotomi terbuka dan ESWL.

Ø  Vesikolitolapaksi :
Merupakan salah satu jenis tindakan yang telah lama dipergunakan dalam menangani kasus batu kandung kemih selain operasi terbuka. Indikasi kontra untuk tindakan ini adalah kapasitas kandung kemih yang kecil, batu multiple, batu ukuran lebih dari 20mm, batu keras, batu kandung kemih pada anak dan akses uretra yang tidak memungkinkan.
Teknik ini dapat dipergunakan bersamaan dengan tindakan TUR-P, dengan tidak menambah risiko seperti halnya sebagai tindakan tunggal.
Angka bebas batu : tinggi (angka ?).
Penyulit : 9-25%, berupa cedera pada kandung kemih.

Ø  Vesikolitotripsi :
a.    Elektrohidrolik (EHL);
Merupakan salah satu sumber energi yang cukup kuat untuk menghancurkan batu kandung kemih. Dapat digunakan bersamaan dengan TUR-P.
Masalah timbul bila batu keras maka akan memerlukan waktu yang lebih lama dan fragmentasinya inkomplit.
EHL tidak dianjurkan pada kasus batu besar dan keras.
Angka bebas batu : 63-92%.
Penyulit : sekitar 8%, kasus ruptur kandung kemih 1,8%.
Waktu yang dibutuhkan : ± 26 menit.

b.    Ultrasound ;
Litotripsi ultrasound cukup aman digunakan pada kasus batu kandung kemih, dapat digunakan pada batu besar, dapat menghindarkan dari tindakan ulangan dan biaya tidak tinggi.
Angka bebas batu : 88% (ukuran batu 12-50 mm).
Penyulit : minimal (2 kasus di konversi).
Waktu yang dibutuhkan : ± 56 menit.

c.    Laser ;
Yang digunakan adalah Holmium YAG. Hasilnya sangat baik pada kasus batu besar, tidak tergantung jenis batu.
Kelebihan yang lain adalah masa rawat singkat dan tidak ada penyulit.
Angka bebas batu : 100%.
Penyulit : tidak ada.
Waktu yang dibutuhkan : ± 57 menit.

d.    Pneumatik;
Litotripsi pneumatik hasilnya cukup baik digunakan sebagai terapi batu kandung kemih.  Lebih efisien dibandingkan litotripsi ultrasound dan EHL pada kasus batu besar dan keras.
Angka bebas batu : 85%.
Penyulit : tidak ada.
Waktu yang dibutuhkan : ± 57 menit.

Ø  Vesikolitotomi perkutan :
Merupakan alternatif terapi pada kasus batu pada anak-anak atau pada penderita dengan kesulitan akses melalui uretra, batu besar atau batu múltipel. Tindakan ini indikasi kontra pada adanya riwayat keganasan kandung kemih, riwayat operasi daerah pelvis, radioterapi, infeksi aktif pada saluran kemih atau dinding abdomen.
Angka bebas batu : 85-100%.
Penyulit : tidak ada.
Waktu yang dibutuhkan : 40-100 menit.

Ø  Vesikolitotomi terbuka :
Diindikasikan pada batu dengan stone burden besar, batu keras, kesulitan akses melalui uretra, tindakan bersamaan dengan prostatektomi atau divertikelektomi.
Angka bebas batu : 100%.

Ø  ESWL :
Merupakan salah satu pilihan pada penderita yang tidak memungkinkan untuk operasi. Masalah yang dihadapi adalah migrasi batu saat tindakan.
Adanya obstruksi infravesikal serta residu urin pasca miksi akan menurunkan angka keberhasilan dan membutuhkan tindakan tambahan per endoskopi sekitar 10% kasus untuk mengeluarkan pecahan batu.
Dari kepustakaan, tindakan ESWL umumnya dikerjakan lebih dari satu kali untuk terapi batu kandung kemih.
Angka bebas batu : elektromagnetik; 66% pada kasus dengan obstruksi dan 96% pada kasus non obstruksi. Bila menggunakan piezoelektrik didapatkan hanya 50% yang berhasil.

·         Pedoman pilihan terapi :
Dari sekian banyak pilihan untuk terapi batu kandung kemih yang dikerjakan oleh para ahli di luar negeri maka di Indonesia hanya beberapa tindakan saja yang bisa dikerjakan, dengan alasan masalah ketersediaan alat dan sumber daya manusia.
Penggunaan istilah ‘standar’, ‘rekomendasi’ dan ‘opsional’ digunakan berdasarkan fleksibilitas yang akan digunakan sebagai kebijakan dalam penanganan penderita.

Pedoman untuk batu ukuran kurang dari 20 mm.
  1. Litotripsi endoskopik
  2. Operasi terbuka

Pedoman untuk batu ukuran lebih dari 20 mm.
  1. Operasi terbuka
  2. Litotripsi endoskopik

Pedoman untuk batu buli-buli pada anak.
  1. Operasi terbuka
  2. Litotripsi endoskopik

Kepustakaan :
·        Schwartz BF, Stoller ML.: The vesical calculus. Urol Clin North Am 2000;27(2):333-346.
·        Jenkin AD. Childhood urolithiasis. In : Gillenwater JY, Grayhack JT, Howards SS., eds. Adult and pediatric urology. Philadelphia: Lippincott. 2002: 383.
·        Razvi HA, Song TY, Denstedt JD: Management of vesical calculi: Comparison of lithotripsy devices. J Endourol 1996;10:559-563.
·        Bhatia V, Biyani VG: Vesical lithiasis: Open surgery vs. cystolithotripsy vs. extracorporeal shock wave lithotripsy. J Urol 1994;151:660-662.
·        Bulow H, Frohmuller HGW: Electrohydraulic lithotripsy with aspiration of fragments under vision-304 consecutive cases. J Urol 1981;126:454-456.
·        Schulze H, Haupt G, Piergiovanni M, et al: The Swiss lithoclast: A new device for endoscopic stone disintegration. J Urol 1993;149:15-18.
·        Teichman JMH, Rogenes VJ, McIver BJ, et al: Holmium :YAG laser cystolithotripsy of large bladder calculi. Urology 1997b;50:44-48.
·        Badlani GH. In : Walsh PC.,eds. Campbell’s urology. Saunders.2002:3385.
·        Franbboni R, Santi V, Ronchi M, et al: Echo-guided ESL of vesical stone with the Dornier MPL 9000 lithotriptor in obstructed and unobstructed patients. J Endourol 1998;12:81-86.
·        Kojima Y. In : Walsh PC.,eds. Campbell’s urology. Saunders.2002:3386.
·        Sofer M, Kaver I, Greenstein A, et al: Refinements in treatment of large bladder calculi: simultaneous percutaneous suprapubic and transurethral cystolithotripsy. Urology 2004;64(4):651-654.
·        Lim DJ, Walker RD, Ellsworth PI, et al: Treatment of pediatric urolithiasis between 1984 and 1994. J Urol 1996;156:702-705.
·        Gault MH, Chafe L. : Relationship of frequency, age, sex, stone weight and composition in 15,624 stones:comparison of results for 1980 to 1983 and 1995 to 1998. J Urol 2000;164:302-307.
·        Pramod PR, Barrieras DJ, Bagli DJ, et al: Initial experience with endoscopic Holmium laser lithotripsy for pediatric urolithiasis. J Urol 1999;162:1714-1716.
·        Al-Ansari A, Shamsodini A, Younis N, et al: Extracorporeal shock wave lithotripsy monotherapy for treatment of patients with urethral and bladder stone presenting with acute urinary retention. Urology 2005; 66(6):1169-1171.
·        Chtourou M, Younes B, Binous A, et al: Combination of ballistic lithotripsy and transurethral prostatectomy in bladder stone with benign prostatic hyperplasia. J Endourol 2001;15(8):851-853.
·        Richter S, Ringer A, Sluzker D: Combined cystolithotomy and transurethral resection of prostate: best management of infravesical obstruction and massive or multiple bladder stone. Urology 2002;59(5):688-691.
·        Rodriguez FM, Latorre FI, Gonzalez MM, et al: Treatment of bladder stone without associated prostate surgery: Result of a prospective study. Urology 2005;66(3):505-509.
·        Franzoni DF, Decter RM : Percutaneous vesicolithotomy: an alternative to open bladder surgery in patients with an impassable or surgically ablated urethra. J Urol 1999;162:777-778.
·        Maheshwari PN, Oswal AT, Bansal M : Percutaneous cystolithotomy for vesical calculi: a better approach. Techniques in Urology 1999;5:40-42.
·        Wollin TA, Singal RK, Whelan T, et al: Percutaneous suprapubic cystolithotripsy for treatment of large bladder calculi. J Endourol 1999;13:739-744.
·        Wehle MJ, Segura JW. In : Belman AB., Eds. Clinical pediatric urology. Martin Dunitz. 2002:1241.













BATU URETRA

·         Latar belakang :
Pada umumnya batu uretra berasal dari batu kandung kemih yang turun ke uretra. Sangat jarang batu uretra  primer kecuali pada keadaan stasis urin yang kronis dan infeksi seperti pada striktur uretra atau divertikel uretra.
Insidensi terjadinya batu uretra hanya 1% dari keseluruhan kasus batu saluran kemih. Komposisi batu uretra tidak berbeda dengan batu kandung kemih. Dua pertiga batu uretra terletak di uretra posterior dan sisanya di uretra anterior.
Keluhan bervariasi dari tidak bergejala, disuria, aliran mengecil atau retensi urin.

·         Analisis keluaran :
Beberapa cara yang dikenal untuk menangani batu uretra antara lain; batu uretra posterior didorong ke kandung kemih, operasi terbuka (uretrotomi/meatotomi), Laser holmium, pneumatik litotripsi.
§  Operasi per endoskopik :
Dengan berkembangnya teknologi, beberapa alat dapat digunakan untuk batu uretra.
Laser Holmium merupakan salah satu modalitas yang paling sering digunakan untuk menangani kasus batu uretra khususnya yang impacted diluar operasi terbuka. Angka bebas batu 100%, tanpa penyulit.
Modalitas lain yang digunakan adalah litrotripsi pneumatik, angka bebas batu 100%, penyulit tidak disebutkan.
§    Operasi terbuka :
Pada kasus-kasus batu uretra impacted, adanya striktur uretra, divertikel uretra, batu di uretra anterior/fossa navikularis, merupakan indikasi untuk operasi terbuka. Angka bebas batu 100%, penyulit berupa infeksi, fistel uretrokutan.



·         Pedoman pilihan terapi :
Pedoman untuk batu uretra posterior
Push-back, lalu diterapi seperti batu kandung kemih.

Pedoman untuk batu uretra anterior.
  1. Lubrikasi anterior
  2. Push-back, lalu diterapi seperti batu kandung kemih
  3. Uretrotomi terbuka

Pedoman untuk batu di fossa navikularis/meatus eksterna.
Uretrotomi terbuka/meatotomi.

·         Kepustakaan :
·         Menon M, Resnick MI.In : Walsh PC.,eds. Campbell’s urology. Saunders. 2002:3288-3289.
·         Jenkin AD. Urethral calculi. In : Gillenwater JY, Grayhack JT, Howards SS., eds. Adult and pediatric urology. Philadelphia: Lippincott. 2002: 383.
·         Maheswari PN, Shah HN : In-situ holmium laser lithotripsy for impacted urethral calculi. J Endourol 2005;19(8):1009-1011.
·         Kamal BA, Anikwe RM, Darawani H, et al: Urethral calculi: presentation and management. BJU International 2004;93(4):549-552.
·         Walker BR, Hamilton BD : Urethral calculi managed with transurethral Holmium laser ablation. J Pediatr Surg 2001; 36(9) : E16.
·         Yinghao S, Linhui W, Songxi Q, et al : Treatment of urinary calculi with uretroscopy and Swiss lithoclast pneumatic lithotripter: report of 150 cases. J Endourol 2000; 14(3): 281-283.
·         Salman AB : Urethral calculi in children. J Pediatr Surg 1996; 31(10): 1379-1382.
·         Wehle MJ, Segura JW. In : Belman AB., Eds. Clinical pediatric urology. Martin Dunitz. 2002:1241.


No comments:

Post a Comment